Bab 1 – Ulang Tahun ke-18
“Selamat ulang tahun, Sayang…”
Suara itu menyambutku begitu aku menjejakkan kaki di dapur. Pagi masih basah oleh embun, cahaya matahari baru saja menyelinap lewat celah jendela, menyinari sosok wanita berambut hitam panjang yang tengah berdiri di sana. Dialah ibuku - satu-satunya orang tua yang kumiliki. Usianya baru tiga puluh empat, tapi dalam hidupku, ia sudah berperan ganda : ibu sekaligus ayah.
Tanpa memberi kesempatan bagiku untuk berkata apa pun, ia langsung merengkuh tubuhku. Pelukannya hangat, aroma sabun mandi yang lembut masih menempel di kulitnya. Ia mengecup kedua pipiku, lalu keningku.
“Wah, anak Mama sudah makin besar. Makin tampan juga nih,” bisiknya pelan di telingaku.
Ia menepuk punggungku ringan, kemudian menambahkan, “Semoga dengan bertambahnya umur, semua cita-citamu tercapai ya, Nak.”
Dadaku terasa sesak - bukan karena tak nyaman, tapi karena keharuan yang sulit kujelaskan. Namun di balik rasa hangat itu, ada juga kegugupan kecil yang tak bisa kuabaikan. Aku menyadari sesuatu: tubuhku kaku. Ada dorongan samar yang membuatku ingin melepaskan diri.
“Sudah, Ma…” bisikku sambil berusaha melepaskan pelukannya perlahan.
Ibuku menatapku heran, senyumnya masih mengembang. “Kenapa, Sayang? Memangnya Mama tidak boleh memelukmu lagi?”
Aku menggeleng cepat. “Bukan begitu, Ma. Cuma…”
Lidahku tercekat. Aku tak tahu harus menjawab apa.
“Cuma apa?” Ia mendesak, nada suaranya ringan tapi penuh rasa ingin tahu.
Aku buru-buru mengalihkan pandangan ke meja makan. “Tidak apa-apa, Ma. Wah, Mama masak semua ini untukku?”
Di atas meja, berjejer hidangan : nasi goreng dengan telur mata sapi yang masih hangat, sup ayam dengan aroma jahe yang menenangkan, dan kue kecil dengan lilin di atasnya.
“Iya dong, spesial untuk anak Mama tersayang,” jawabnya sambil tersenyum bangga.
Aku berhasil mengalihkan suasana, meski hatiku sendiri bergetar hebat. Sebenarnya, aku tidak keberatan saat ibu memelukku. Pelukan itu hangat - terlalu hangat - hingga membuatku sejenak lupa siapa dirinya bagiku. Namun ketika dadanya yang besar menekan dadaku, rasa nyaman itu berubah jadi kegelisahan. Ada sesuatu yang tidak seharusnya kurasakan, sesuatu yang membuatku salah tingkah.
Aku menunduk, berusaha menahan diri. Ia bukan wanita sembarangan. Ia adalah sosok yang selama ini begitu kuhormati, kujadikan panutan, sekaligus diam-diam kukagumi. Dan justru karena itulah, aku merasa bersalah ketika tubuhku bereaksi pada kedekatan yang tak terduga ini.
Di usianya yang menginjak tiga puluh empat tahun, pesonanya tetap memikat dengan cara yang tak bisa disangkal. Tubuhnya terawat, lekuknya tegas, dan tinggi badannya seimbang seolah proporsinya diciptakan untuk menarik perhatian. Ada wibawa yang memancar dari dirinya - bukan sekadar dari penampilan, tetapi juga dari caranya berdiri, berbicara, dan menatap. Seakan waktu sendiri yang membentuknya menjadi gambaran keanggunan yang matang. Dada yang besar, pinggang yang ramping, hingga langkahnya yang selalu mantap, berpadu menjadi pesona yang membuat siapa pun sulit mengalihkan pandangan.
Aku menarik kursi dan duduk. “Kelihatannya enak semua. Aku mau coba, Ma.”
Ibuku tertawa kecil lalu mulai menyajikan makanan. Setiap ulang tahun, ia selalu menyiapkan sesuatu, meski sederhana. Hari ini, di usiaku yang ke-18, ia tetap melakukan hal yang sama.
Selama ini, Ibu adalah segalanya bagiku. Ia gigih, tangguh, dan selalu menomorsatukan kebahagiaanku. Meski sendirian, ia membesarkanku tanpa pernah mengeluh. Tentang Ayah? Ia hanya berkata kalau Ayah sudah “bahagia di sana.” Aku tak pernah benar-benar tahu apakah maksudnya meninggal atau sekadar bahagia dengan orang lain. Yang jelas, Ibu menutup rapat semua kisah itu.
Di luar perannya sebagai ibu, aku tak bisa memungkiri satu hal: ia cantik. Terlalu cantik, bahkan. Banyak orang sering mengira ia kakakku. Usianya memang masih muda, wajahnya terawat, tubuhnya ideal. Dengan kulit putih bersih dan senyum menawan, ia sering membuat orang tak percaya kalau aku ini anaknya.
Pagi ini ia mengenakan seragam kerjanya: kemeja putih lengan panjang yang rapi, dipadukan dengan celana kain hitam. Rambutnya dikuncir sederhana, tapi justru itu membuatnya tampak semakin anggun. Dari balik meja makan, aku sempat mencuri pandang beberapa kali.
Suara sendok yang beradu dengan piring membuyarkan lamunanku.
“Ayo, Nak, cepat habiskan sarapannya. Nanti kamu telat,” ujarnya sambil meneguk teh hangat.
Aku mengangguk cepat. “Iya, Ma.”
Hari ini aku bertekad tidak terlambat. Bukan hanya karena ulang tahunku, tapi juga karena aku ingin membuatnya bangga. Aku siswa kelas tiga SMA, sebentar lagi ujian kelulusan. Targetku jelas: lulus dengan nilai terbaik.
Setelah selesai makan, aku berdiri hendak membantu membereskan piring.
“Sudah, Nak, biar Mama saja. Tinggal sedikit lagi,” katanya, menahan tanganku.
Aku menggeleng. “Tanggung, Ma. Sini, biar aku yang selesaikan.”
Aku mengambil piring dari tangannya. Saat itu, pandanganku sekilas bertemu dengan matanya. Senyum lembutnya menancap dalam.
“Ya sudah,” katanya akhirnya. Ia berbalik menuju kamarnya, tapi sempat mengusap kepalaku. “Anak Mama sudah semakin dewasa.”
Kata-katanya membuatku salah tingkah. Aku menoleh, memperhatikan langkahnya yang menjauh. Ada sesuatu di dalam diriku yang bergetar—perasaan yang tak ingin kuakui, tapi sulit kutolak.
Aku menarik napas panjang, menenangkan diri, lalu mencuci piring dengan cepat. Gemericik air, aroma sabun cuci piring, dan pantulan cahaya pagi di bak cuci menjadi latar pikiranku yang berantakan.
Tak lama kemudian, Ibu keluar dari kamar. Tas kerja tersampir di bahunya. Ia tampak rapi dan berwibawa. Kami bertatapan sesaat. Senyumnya seolah memberi energi baru.
“Mama berangkat dulu ya, Nak. Belajar yang rajin, jangan telat, dan hati-hati di jalan.”
Aku segera berdiri dan meraih tangannya. Mencium punggung tangannya sudah jadi kebiasaan kami sejak lama. “Iya, Ma. Mama juga hati-hati di jalan.”
Ia tersenyum lagi, lalu melangkah pergi. Dari jendela, aku melihatnya naik motor. Ia menoleh, melambaikan tangan. Aku balas melambaikan tangan, menahan perasaan hangat sekaligus getir di dada.
Rumah terasa lebih sunyi begitu pintu tertutup. Jam dinding berdetak lambat, suara motor yang melintas di jalan terdengar sayup. Aku menatap meja makan yang kini kosong, lalu ke piring-piring bersih yang sudah kutiriskan.
Hari ini aku genap delapan belas tahun. Usia yang katanya menandai kedewasaan. Tapi bagiku, kedewasaan itu bukan sekadar angka. Kedewasaan adalah janji—janji untuk menjaga Ibu, membalas semua pengorbanannya, dan suatu hari kelak, membuatnya hidup tenang tanpa lagi harus berjuang sendirian.
Aku menatap ranselku di kursi. Aku tahu jalan ini tidak akan mudah. Hidup tidak pernah memberi kami kemewahan. Tapi justru karena itulah aku ingin berjuang lebih keras.
Dengan langkah mantap, aku mengambil ransel, merapikan seragam, lalu keluar rumah. Angin pagi menyentuh wajahku, membawa aroma tanah basah setelah semalaman hujan. Di kejauhan, suara anak-anak kecil yang berlari ke sekolah dasar terdengar riang.
Hari ulang tahunku ke-18 baru saja dimulai. Dan aku ingin menjadikannya titik awal langkah besar dalam hidupku. Demi diriku sendiri—dan terutama, demi Ibu. Ia pantas mendapatkan kebahagiaan yang tak pernah ia rasakan sepenuhnya.
Aku berjanji, aku akan memastikan itu terjadi.
.jpg)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar